Senin, 26 Mei 2008


PERAN NOTARIS DALAM PEMBAGIAN WARISAN SEBAGAI
PENENGAH DAN STABILISATOR

Oleh : Ir. EDISON, SH., MKn.
( Notaris di Lamongan )


Tugas Notaris dalam pembagian warisan telah jelas sebagaimana ditentukan dalam UUJN, yaitu sebagai pejabat umum dengan kewajiban untuk membuat akta otentik, dalam hal ini akta pembagian warisan. Dengan demikian tidak sulit bagi kita untuk menerima pendapat bahwa akta pembagian warisan yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris dengan dihadiri oleh saksi-saksi telah memenuhi apa yang ditentukan oleh UUJN, oleh karena itu mempunyai kekuatan otentik diantara para pihak yang turut serta menanda-tangani akta tersebut.
Menurut hemat kami, Notaris berperan dalam pembagian warisan lebih sebagai penengah atau stabilisator, dalam arti menjalankan tugasnya dalam pembuatan akta pembagian warisan sedapat mungkin mengusahakan tercapainya harmoni atau keselarasan antara kehendak para pihak dengan apa yang ditentukan oleh Undang-Undang, khususnya ketentuan Hukum Waris yang berlaku bagi para pihak. Menjalankan tugas sebagai stabilisator atau penengah yang kami maksudkan di atas dalam prakteknya sangat sulit, mengingat terdapatnya dualisme (baca: keaneka-ragaman) hukum dalam bidang Hukum Waris sebagaimana yang akan diuraikan.
Kiranya kita semua sependapat bahwa hingga saat ini masih terdapat dualisme dalam bidang Hukum Perdata ( khususnya bidang hukum perdata waris ) yang berlaku bagi setiap Warga Negara Indonesia. Melalui ketentuan Pasal – II Aturan Peralihan UUD 1945 kita dapat meneropong kembali mengenai apa yang sebelumnya dinyatakan berlaku bagi setiap orang yang merupakan warga ( Nederlands onderdaan ) di Hindia Belanda. Ketentuan Pasal 131 juncto Pasal 163 dari I.S ( het Indische Staatsregeling ) membawa kita kepada kesimpulan bahwa di Hindia Belanda pada waktu itu dikenal 3 ( tiga ) golongan penduduk, yaitu :
Golongan Eropah atau yang dipersamakan;
Golongan Timur Asing, yang terbagi dua pula :
golongan Timur Asing Tionghoa
golongan Timur Asing bukan Tionghoa.
3. Golongan Bumi Putera.
Masing-masing golongan tersebut diatas memiliki hukum perdata waris sendiri-sendiri yang masing-masingnya tunduk kepada sistem tersendiri pula. Bagi golongan Eropah atau yang dipersamakan dan golongan Timur Asing Tionghoa berlaku hukum waris yang ditentukan dalam Buku-II dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa ( seperti Arab, Pakistan, India, dan lain sebagainya ) berlaku hukum waris adatnya masing-masing dan sepanjang pengaruh agama lebih dominan dalam kehidupan mereka sehari-hari maka diberlakukan hukum waris yang ditentukan oleh hukum agamanya tersebut. Bagi golongan Bumi Putera berlaku hukum waris adat menurut lingkungan hukum adatnya ( adatrechtskring ) masing-masing.
Ketentuan yang terdapat dalam ketiga sistem Hukum Waris yang disebutkan diatas boleh jadi memperlihatkan hasil perhitungan atas pembagian warisan yang berbeda dalam kasus yang sama. Misalnya :
Seorang pria meninggal dunia dan semasa hidupnya telah kawin sah dengan seorang wanita dan dikaruniai dua orang anak perempuan. Selain itu pria tersebut juga meninggalkan seorang ibu dan seorang saudara laki-laki seibu sebapak.

Hukum waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan tegas menentukan bahwa dalam kasus tersebut di atas harta peninggalan pria tersebut diwarisi oleh janda dan kedua anak perempuannya sebagai ahli waris golongan pertama dari pria tersebut ( Pasal 830 juncto Pasal 852 dan Pasal 852 a KUH-Perdata), masing-masing mendapat bahagian yang sama.
Hukum Waris Adat juga menentukan bahwa yang berhak adalah sang janda dan kedua anak perempuannya itu saja. Hukum Adat yang kami maksud disini adalah Hukum Adat yang berlaku secara umum di Indonesia, yaitu Hukum Adat menurut Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor 179 K/Sip/1961, yang sudah merupakan Yurisprudensi tetap di Indonesia, yang pada pokoknya menyatakan bahwa bahagian janda dan anak-anak itu sama besarnya tanpa mempersoalkan anak laki-laki atau perempuan. Prinsip pokok pewarisan menurut Hukum Adat adalah harta peninggalan itu terlebih dahulu dibagi oleh para ahli waris sah dalam garis lurus kebawah, yaitu oleh janda dan anak-anaknya beserta sekalian keturunannya, dan jika ahli waris semacam ini tidak ada maka harta peninggalan tersebut dibagi oleh keluarga dalam garis lurus ke atas, yaitu orang tua dan leluhurnya seterusnya ke atas, dan jika ahli waris kedua ini tidak ada barulah dibagi oleh para ahli waris dalam garis kesamping, yaitu oleh saudara-saudari si peninggal harta. Akan tetapi prinsip pokok pewarisan menurut Hukum Adat ini dalam praktek sehari-hari sangat dipengaruhi oleh sistem apa yang dipakai dalam kehidupan masyarakat hukum adat, apakah sistem kebapakan ( Patriarchaat ) seperti pada masyarakat hukum adat Batak, keibuan ( Matriarchaat ) pada masyarakat hukum adat Minangkabau, ataukah ibu-bapak ( Parental ) pada masyarakat hukum adat Jawa, yang masing-masingnya mempunyai aturan sistem pewarisan tersendiri terhadap harta-harta peninggalan.
Hukum Waris Islam menentukan lain, yang berhak adalah sang janda dan kedua anak wanitanya itu beserta ibu dan saudara laki-laki dari si peninggal harta, masing-masing dengan porsi (Legitimate portie) tertentu pula.
Dualisme hukum seperti inilah yang kita hadapi sejak Proklamasi Kemerdekaan RI hingga saat ini. Dualisme ini akan semakin rancu lagi jika kita menelaah tentang kewenangan untuk membuat Surat Keterangan Hak Waris ( verklaring van erfrecht ) dalam setiap kasus terbukanya warisan bagi setiap penduduk di Indonesia yang termasuk kedalam ketiga golongan penduduk yang dimaksudkan diatas, sebagaimana yang akan diuraikan dibawah ini.
Seperti kita ketahui bahwa Surat Keterangan Hak Waris dimasud sangat diperlukan untuk membuktikan siapa-siapa yang merupakan ahli waris atas harta peninggalan yang telah terbuka menurut hukum dan berapa porsi atau bahagian masing-masing ahli waris terhadap harta peninggalan yang telah terbuka itu. Besarnya porsi dari masing-masing ahli waris dalam Surat Keterangan Hak Waris tersebut sangat bergantung kepada Hukum Waris apa yang digunakan atau diterapkan dalam menentukan hak dari pada ahli waris tersebut. Hukum waris apa yang diterapkan dalam menyelesaikan pembagian atas harta peninggalan yang telah terbuka itu juga sangat bergantung kepada Pejabat atau Instansi yang menerbitkan Surat Keterangan Hak Waris dimaksud.
Satu-satunya ketentuan tertulis yang mengatur tentang wewenang pembuatan Surat Keterangan Hak Waris ( SKHW ) yang dikenal dalam praktek sehari-hari diatur dalam Instruksi Bagi Para Pejabat Pendaftaran Tanah Di Indonesia Dan Mereka Yang Bertindak Sedemikian (Instructie voor de Gouvernements Landmeters in Indonesie en als zoodanig fungeerende Personen ) yang diatur dalam Pasal 14 Stb.1916 Nomor 517, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Nopember 1916, yang memberikan wewenang untuk membuat Surat Keterangan Hak Waris itu kepada Balai Harta Peninggalan setempat. Diluar ketentuan itu tidak ada lagi ketentuan tertulis yang menentukan pejabat atau instansi manakah yang berwenang untuk menerbitkan SKHW dimaksud.
Tidak adanya aturan tertulis yang mengatur perihal pejabat atau instansi mana yang berwenang untuk menerbitkan SKHW itu disatu pihak, sedangkan dipihak lain kebutuhan untuk meminta penerbitan SKHW dalam setiap peristiwa hukum terbukanya warisan yang dipergunakan sebagai dasar untuk melaksanakan balik nama atas harta benda tidak bergerak yang terdaftar milik si peninggal harta cukup besar, mengakibatkan timbulnya kekosongan dalam praktek hukum di Indonesia. Oleh karena itu Mahkamah Agung RI dengan suratnya tanggal 8 Mei 1991 Nomor MA/kumdil/171/V/K/1991 yang ditujukan kepada para Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua Pengadilan Tinggi Agama, Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Agama se Indonesia berhubungan dengan surat MA RI tanggal 25 Maret 1991 Nomor KMA / 041/III/1991, telah menunjuk Surat Edaran tanggal 20 Desember 1969 Nomor Dpt/12/63/12/69 yang diterbitkan oleh Direktorat Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster) di Jakarta, yang menyatakan bahwa guna keseragaman dan berpokok pangkal dari penggolongan penduduk yang pernah dikenal sejak sebelum merdeka hendaknya Surat Keterangan Hak Waris (SKHW) untuk Warga Negara Indonesia itu :
Golongan Keturunan Eropah (Barat) dibuat oleh Notaris;
Golongan penduduk asli Surat Keterangan oleh Ahli Waris, disaksikan oleh Lurah/Desa dan diketahui oleh Camat.
Golongan keturunan Tionghoa, oleh Notaris;
Golongan Timur Asing bukan Tionghoa, oleh Balai Harta Peninggalan (BHP).
Khusus untuk SKHW yang disebutkan dalam angka 2 diatas, dalam praktek juga terjadi kesimpang siuran, dalam arti terdapat dualisme bentuk. Bentuk pertama diterbitkan dan ditanda tangani langsung oleh Camat setempat atas dasar surat pernyataan para ahli waris yang bersangkutan, lengkap dengan memakai kepala dan nomor surat dinas Kantor Camat, dan bentuk kedua dibuat dan ditanda tangani bersama oleh para ahli waris ( janda atau duda dan anak-anak dari pewaris ), dikuatkan Lurah setempat dan diketahui oleh Camat.
Selain dari apa yang diuraikan di atas, dalam praktek dikenal juga penerbitan “Fatwa Waris “ dalam bentuk Penetapan oleh Kantor Pengadilan Agama setempat yang lazimnya diterbitkan atas permintaan atau permohonan para ahli waris yang hendak membagi harta peninggalan pewaris menurut Hukum Islam (Hukum Faraidh). Di luar itu terdapat pula penetapan yang diterbitkan oleh Pengadilan Negeri setempat yang menentukan siapa-siapa yang merupakan ahli waris dari seorang WNI pribumi non muslim yang telah meninggal dunia.
Jadi dapat kita mengerti betapa beragamnya bentuk SKHW yang berlaku dalam masyarakat kini akibat beraneka ragamnya Pejabat / Instansi yang berwenang untuk menerbitkan SKHW itu.
Peran Notaris sebagai stabilisator yang bertugas untuk menjaga keselarasan antara apa yang ditentukan oleh Hukum Waris yang berlaku bagi para pihak dengan apa yang dikehendaki oleh para pihak dalam hal membagi harta peninggalan yang telah terbuka itu jelas akan semakin sulit dengan semakin banyaknya bentuk dan asal SKHW itu akibat kompleksitas kewenangan dalam menerbitkan SKHW yang dimaksudkan.
Kesulitan itu dapat kita gambarkan dengan memberikan contoh-contoh berupa dua kasus seperti berikut:
a. Warga Negara Indonesia Pribumi Muslim ingin membagi harta peninggalan orang tuanya dengan mempergunakan SKHW yang diterbitkan oleh Camat. Camat jelas menerbitkan SKHW tidak berdasarkan Hukum Faraidh (Islam) meskipun dia tahu betul bahwa warganya tersebut ( ahli waris ) adalah seorang Muslim. Dalam contoh kasus yang disebutkan diatas Camat akan memberikan SKHW yang menyatakan hanya isteri dan kedua anak perempuan si pewaris itu saja yang berhak sebagai ahli waris. Orientasi Camat jelas hanya berdasarkan Hukum Adat yang berlaku umum yang kami singgung diatas. Bunyi SKHW itu akan menjadi lain bila diterbitkan oleh Pengadilan Agama, sebab dalam hal ini Pengadilan Agama akan memberikan hak waris kepada janda dan kedua anak perempuannya serta Ibu dan saudara laki-laki dari si pewaris dimaksud.
b. Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa muslim ingin membagi harta peninggalan orang tuanya dengan mempergunakan SKHW yang diterbitkan oleh Notaris. Dalam kasus seperti contoh di atas Notaris akan menetapkan bahwa yang menjadi ahli waris sah almarhum hanyalah si janda berikut kedua anak perempuannya itu saja. Tetapi bila diterbitkan oleh Pengadilan Agama maka hasilnya akan sama dengan uraian poin (a) diatas, sepanjang orang tua dan saudara laki-laki si pewaris tidak dikecualikan untuk menerima harta peninggalan dari si pewaris. Dalam kasus seperti ini pada umumya para Notaris senantiasa memberlakukan prosedur untuk melakukan pemisahan dan pembagian atas harta peninggalan dari seorang pewaris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, karena seorang Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa (walaupun muslim) tetap dianggap tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Dalam praktek masih ditemukan lagi beberapa variasi permasalahan yang berkenaan dengan penerbitan SKHW. Misalnya dalam hal seorang WNI keturunan Tionghoa yang melakukan hidup bersama saja (tidak kawin, dalam arti riil tidak mempunyai akta perkawinan) dengan seorang wanita, dan dari hidup bersama tersebut dilahirkan beberapa orang anak. Bila sebelumnya sang pria juga berasal dari keluarga yang kedua orang tuanya juga hidup bersama dan tidak memiliki akta perkawinan, dan tidak ada orang yang mengakuinya (erkening) sedangkan sang pria meninggal dunia. Peristiwa kematian sang pria dapat menimbulkan persoalan besar bila boedel yang ditinggalkannya cukup besar nilainya. Kasus seperti ini jelas merupakan peristiwa yang diatur dalam Pasal 1126 dan Pasal 1127 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau onbeheerde natalenschap. Menghadapi kasus seperti ini dalam praktek pada umumnya para Pengacara ( selaku pembela dari janda dan anak-anak dari sang pria tersebut) mengambil jalan pintas dengan meminta diterbitkannya penetapan dari Pengadilan Negeri setempat yang isinya menunjuk janda teman hidup bersama sang pria dan anak-anak yang dilahirkan dari hidup bersama itu sebagai ahli waris pria tersebut dengan mempergunakan Pasal 101 KUH-Perdata, apalagi bila orang tua yang mengakui sang pria telah pula meninggal dunia. Pada umumnya Penetapan Pengadilan dalam kasus seperti ini dapat diterima oleh instansi pemerintah yang bersangkutan.
Bila kasus-kasus seperti yang disebutkan diatas ini dimintakan kepada Notaris untuk dibuatkan akta pemisahan dan pembagiannya, pada umumnya Notaris melayani permintaan para ahli waris sebagaimana yang disampaikan kepada Notaris, sepanjang semua ahli waris itu sanggup untuk hadir atau dapat diwakili guna menanda tangani akta pemisahan dan pembagiannya, demikian juga setelah Notaris memeriksa dan meyakinkan dirinya perihal kewenangan para ahli waris yang nama-namanya disebutkan dalam SKHW itu untuk menandatangani akta pemisahan dan pembagian yang dimaksudkan. Notaris mengakomodir kehendak penghadap dalam menuntaskan persoalan pembagian harta peninggalan dengan melahirkan produk yang berguna bagi keharmonisan para ahli warisnya. -----------------------

Lamongan, 19 Januari 2007.
Ir. Edison, SH., MKn

Tidak ada komentar: